"TABUR BUNGA DI KUBURAN"

Foto: "TABUR BUNGA DI KUBURAN"

Pertanyaan:
1. Apa hukumnya bila kita menaburkan bunga di atas kuburan sementera kita tidak ada niat untuk syirik kepada allah melainkan hanya untuk mengharumkan kuburan tersebut dan sekitarnya.
2. Kita masuk kubur dengan memakai sandal bagaimana hukumnya,

Demikian pertanyaan kita terima kasih.

Hasanuddin (fispra_bappXXXXXXX@yahoo.com)

Penjelasan tabur bunga di kubur.

Perbuatan ini sering dilakukan oleh para peziarah kubur. Kami tidak menemukan satu pun riwayat valid yang menunjukkan bahwa rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya melakukan hal yang serupa ketika menziarahi suatu kubur.

Berdasarkan keterangan para ulama, perbuatan ini merupakan tradisi yang diambil dari orang-orang kafir, khususnya kaum Nasrani. Tradisi tebar bunga dipandang sebagai bentuk penghormatan terhadap orang yang telah wafat. Tradisi tersebut kemudian diserap dan dipraktekkan oleh sebagian kaum muslimin yang memiliki hubungan erat dengan orang-orang kafir, karena memandang perbuatan mereka merupakan salah satu bentuk kebaikan terhadap orang yang telah wafat.

Seorang ulama hadits Mesir, Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah mengatakan, “Perbuatan ini digalakkan oleh kebanyakan orang, padahal hal tersebut tidak memiliki sandaran dalam agama. Hal ini dilatarbelakangi oleh sikap berlebih-lebihan dan sikap mengekor kaum Nasrani. Apa yang terjadi, khususnya di negeri Mesir merupakan contoh dari hal ini. Orang Mesir pun melakukan tradisi tebar bunga di atas pusara atau saling menghadiahkan bunga sesama mereka. Orang-orang meletakkan bunga di atas pusara kerabat atau kolega mereka sebagai bentuk penghormatan kepada mereka yang telah wafat.” Beliau melanjutkan, “Oleh karena itu, apabila para tokoh muslim mengunjungi sebagian negeri Eropa, anda dapat menyaksikan mereka menziarahi pekuburan para tokoh di negeri tersebut atau ke pekuburan para pejuang tanpa nama kemudian melakukan tradisi tebar bunga, sebagian lagi meletakkan bunga imitasi karena mengekor Inggris dan mengikuti tuntunan hidup kaum terdahulu.” Lalu di akhir perkataan, beliau menyatakan, “Semua ini adalah perbuatan bid’ah dan kemungkaran yang tidak berasal dari agama Islam, tidak pula memiliki sandaran dari Al quran dan sunnah nabi. Dan kewajiban para ulama adalah mengingkari dan melarang segala tradisi ini sesuai kemampuan mereka.” (Ta’liq Ahmad Syakir terhadap Sunan At Tirmidzi 1/103, dinukil dari Ahkaamul Janaaizhal. 254).

Oleh karena itu, tradisi yang banyak dilakukan oleh kaum muslimin ini tercakup dalam larangan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar tidak mengekor kebudayaan khas kaum kafir sebagaimana yang termaktub dalam sabda Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ومن تشبه بقوم فهو منهم

“Barangsiapa menyerupai suatu kaum ,maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Ahmad nomor 5114, 5115 dan 5667; Sa’id bin Manshur dalam Sunannya nomor 2370; Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya: 19401, 19437 dan 33010. Al ‘Allamah Al Albani menghasankan hadits ini dalam Al Irwa’ 5/109).

Ibnu ‘Abdil Barr Al Maliki rahimahullah mengatakan, “(Maksudnya orang yang menyerupai suatu kaum) akan dikumpulkan bersama mereka di hari kiamat kelak. Dan bentuk penyerupaan bisa dengan meniru perbuatan yang dilakukan oleh kaum tersebut atau dengan meniru rupa mereka.” (At Tamhid lima fil Muwaththa minal Ma’ani wal Asaanid 6/80).

Sebagian kaum muslimin menganalogikan tradisi tabur bunga ini dengan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menancapkan pelepah kurma basah pada dua buah kubur sebagaimana yang terdapat dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Abbas radliallahu ‘anhuma. (H.r. Bukhari: 8 dan Muslim: 111). Mereka beranggapan bahwa pelepah kurma atau bunga yang diletakkan di atas pusara akan meringankan adzab penghuninya, karena pelepah kurma atau bunga tersebut akan bertasbih kepada Allah selama dalam keadaan basah.

Anggapan mereka tersebut tertolak dengan beberapa alasan sebagai berikut:

Alasan pertama, keringanan adzab kubur yang dialami kedua penghuni kubur tersebut adalah disebabkan doa dan syafa’at Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka, bukan pelepah kurma tersebut. Hal ini dapat diketahui jika kita melihat riwayat Jabir bin ‘Abdillah radliallahu ‘anhu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إني مررت بقبرين يعذبان فأحببت بشفاعتي أن يرفه عنهما ما دام الغصنان رطبين

“Saya melewati dua buah kubur yang penghuninya tengah diadzab. Saya berharap adzab keduanya dapat diringankan dengan syafa’atku selama kedua belahan pelepah tersebut masih basah.” (H.r. Muslim: 3012).

Hadits Jabir di atas menerangkan bahwa yang meringankan adzab kedua penghuni kubur tersebut adalah doa dan syafa’at nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam , bukan pelepah kurma yang basah.

Alasan kedua, anggapan bahwa pelepah kurma atau bunga akan bertasbih kepada Allah selama dalam keadaan basah sehingga mampu meringankan adzab penghuni kubur bertentangan dengan firman Allah Ta’ala,

تُسَبِّحُ لَهُ السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ وَالأرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ وَلَكِنْ لا تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا (٤٤)

“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.” (Q.s. Al Israa: 44).

Makhluk hidup senantiasa bertasbih kepada Allah, begitupula pelepah kurma. Tidak terdapat bukti yang menunjukkan bahwa pelepah kurma atau bunga akan berhenti bertasbih jika dalam keadaan kering.

Alasan ketiga, perbuatan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut bersifat kasuistik (waqi’ah al-’ain) dan termasuk kekhususan beliau sehingga tidak bisa dianalogikan atau ditiru. Hal ini dikarenakan beliau tidak melakukan hal yang serupa pada kubur-kubur yang lain. Begitu pula para sahabat tidak pernah melakukannya, kecuali sahabat Buraidah yang berwasiat agar pelepah kurma diletakkan di dalam kuburnya bersama dengan jasadnya. Namun, perbuatan beliau ini hanya didasari oleh ijtihad beliau semata.
Ibnu Hajar rahimahullah berkata,

“Perbuatan Buraidah tersebut seakan-akan menunjukkan bahwa beliau menerapkan hadits tersebut berdasarkan keumumannya dan tidak beranggapan bahwa hal tersebut hanya dikhususkan bagi kedua penghuni kubur tersebut. Ibnu Rusyaid berkata, “Apa yang dilakukan oleh Al Bukhari menunjukkan bahwa hal tersebut hanya khusus bagi kedua penghuni kubur tersebut, oleh karena itu Al Bukhari mengomentari perbuatan Buraidah tersebut dengan membawakan perkataan Ibnu ‘Umar, Sesungguhnya seorang (di alam kubur) hanya akan dinaungi oleh hasil amalnya (di dunia dan bukan pelepah kurma yang diletakkan di kuburnya).” (Fathul Baari 3/223).

Selain itu, pelepah kurma tersebut ditaruh bersama dengan jasad beliau, bukan diletakkan di atas pusara beliau.

Alasan keempat, alasan lain yang membatalkan analogi mereka dan menguatkan bahwa perbuatan Nabi tersebut merupakan kekhususan beliau adalah pengetahuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa kedua penghuni kubur tersebut tengah diadzab. Hal ini merupakan perkara gaib yang hanya diketahui oleh Allah ta’ala dan para rasul yang diberi keistimewaan oleh-Nya sehingga mampu mengetahui beberapa perkara gaib dengan wahyu yang diturunkan kepadanya. Allah berfirman,

عَالِمُ الْغَيْبِ فَلا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا (٢٦)إِلا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا (٢٧)

“(Dia adalah Rabb) yang mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya.” (Q.s. Al Jinn: 26-27).

Kalangan yang menganalogikan tradisi tebar bunga dengan perbuatan nabi tersebut telah mengklaim bahwa mereka mengetahui perkara gaib. Mereka mengklaim mengetahui bahwa penghuni kubur sedang diadzab sehingga pusaranya perlu untuk ditaburi bunga. Sungguh ini klaim tanpa bukti, tidak dilandasi ilmu dan termasuk menerka-nerka perkara gaib yang dilarang oleh agama.

Alasan kelima, hal ini mengandung sindiran dan celaan kepada penghuni kubur, karena jika alasan mereka demikian, hal tersebut merupakan salah satu bentuk berburuk sangka (su’uzh zhan) kepada penghuni kubur karena menganggapnya sebagai pelaku maksiat yang tengah diadzab oleh Allah di dalam kuburnya sebagai balasan atas perbuatannya di dunia. (Rangkuman faidah ini kami ambil dari Ahkaamul Janaa-iz, Taisirul ‘Allam dan uraian dari ustadzuna tercinta, Abu Umamah hafizhahullah ta’ala saat mengkaji kitab ‘Umdatul Ahkam).

Berdasarkan keterangan di atas, kita dapat mengetahui bahwa tradisi ini selayaknya ditinggalkan dan tidak perlu dilakukan ketika berziarah kubur karena tercakup dalam larangan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita juga mengetahui bahwa tidak terdapat riwayat valid yang menyatakan bahwa para sahabat dan generasi salaf melakukan tradisi tebar bunga di atas pusara. Hal ini menunjukkan bahwa perbuatan tersebut tidak dituntunkan oleh syari’at kita.

Oleh karena itu, kita patut merenungkan pernyataan As Subki, bahwa segala perbuatan yang tidak pernah diperintahkan dan dilakukan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya merupakan indikasi bahwa amalan tersebut tidak disyari’atkan. Dalam pernyataan beliau tersebut terkandung kaidah dasar dalam pensyari’atan sebuah amalan.


Referensi: ikhwanmuslim dot com (Dipublikasikan ulang oleh Konsultasi Syariah)


Pertanyaan : 1. Apa hukumnya jikalau kita menaburkan bunga di atas kuburan sementera kita tiada niat utk syirik terhadap allah melainkan cuma utk mengharumkan kuburan tersebut dan sekitarnya. 2. Kita masuk kubur dgn memanfaatkan sandal dengan cara apa hukumnya, Begitu pertanyaan kita terima kasih. Hasanuddin (Fispra_bappXXXXXXX@yahoo.com) Penjelasan tabur bunga di kubur. Aksi ini tidak jarang dilakukan oleh para peziarah kubur. Kami tak menemukan satu pula riwayat valid yg menunjukkan bahwa rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya lakukan faktor yg mirip dikala menziarahi sebuah kubur. Berdasarkan keterangan para ulama, tindakan ini yakni rutinitas yg diambil dari beberapa orang kafir, khususnya kaum Nasrani. Adat tebar bunga di lihat sbg wujud penghormatan pada orang yg sudah meninggal. Rutinitas tersebut seterusnya diserap & dipraktekkan oleh sebahagian kaum muslimin yg mempunyai jalinan erat dgn beberapa orang kafir, dikarenakan memandang tindakan mereka ialah salah satu wujud kebaikan kepada orang yg sudah meninggal. Seseorang ulama hadits Mesir, Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah menyampaikan, “Perbuatan ini digalakkan oleh biasanya orang, padahal hal itu tak mempunyai sandaran dalam agama. Aspek ini dilatarbelakangi oleh sikap berlebih-lebihan dan sikap mengekor kaum Nasrani. Apa yg berjalan, khususnya di negara Mesir ialah sample dari aspek ini. Orang Mesir juga laksanakan etika tebar bunga di atas pusara atau saling menghadiahkan bunga sesama mereka. Beberapa Orang meletakkan bunga di atas pusara kerabat atau relasi mereka juga sebagai wujud penghormatan terhadap mereka yg sudah meninggal.” Ia menyambung, “Oleh lantaran itu, bila para tokoh muslim mengahdiri sebahagian negara Eropa, kamu bakal melihat mereka menziarahi pekuburan para tokoh di negara tersebut atau ke pekuburan para pejuang tidak dengan nama setelah itu lakukan adat tebar bunga, sebahagian lagi meletakkan bunga imitasi lantaran mengekor Inggris dan mengikuti tuntunan hidup kaum terdahulu.” Dulu di akhir perkataan, dirinya menyebut, “Semua ini merupakan tindakan bid’ah dan kemungkaran yg tak berasal dari agama Islam, tak juga mempunyai sandaran dari Al quran & sunnah nabi. & kewajiban para ulama yakni mengingkari dan melarang segala rutinitas ini pas kebolehan mereka.” (Ta’liq Ahmad Syakir pada Sunan At Tirmidzi 1/103, dinukil dari Ahkaamul Janaaizhal. 254). Oleh lantaran itu, etika yg tidak sedikit dilakukan oleh kaum muslimin ini tercakup dalam larangan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biar tak mengekor kebudayaan khas kaum kafir layaknya yg termaktub dalam sabda Dirinya shallallahu ‘alaihi wa sallam, ومن تشبه بقوم فهو منهم “Barangsiapa menyerupai satu buah kaum ,sehingga beliau termasuk juga golongan mereka.” (HR. Ahmad No. 5114, 5115 dan 5667; Sa’id bin Manshur dalam Sunannya nomer 2370; Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya : 19401, 19437 & 33010. Al ‘Allamah Al Albani menghasankan hadits ini dalam Al Irwa’ 5/109). Ibnu ‘Abdil Barr Al Maliki rahimahullah menyampaikan, “(Maksudnya orang yg menyerupai sebuah kaum) bakal dikumpulkan dengan mereka di hri kiamat nanti. Dan wujud penyerupaan sanggup bersama meniru aksi yg dilakukan oleh kaum tersebut atau bersama meniru rupa mereka.” (At Tamhid lima fil Muwaththa minal Ma’ani wal Asaanid 6/80). Sebahagian kaum muslimin menganalogikan etika tabur bunga ini bersama tindakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yg menancapkan pelepah kurma basah terhadap dua buah kubur sama seperti yg terdapat dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Abbas radliallahu ‘anhuma. (H.r. Bukhari : 8 dan Muslim : 111). Mereka menganggap bahwa pelepah kurma atau bunga yg diletakkan di atas pusara dapat membantu adzab penghuninya, lantaran pelepah kurma atau bunga tersebut bakal bertasbih terhadap Allah sewaktu dalam kondisi basah. Anggapan mereka tersebut tertolak bersama sekian banyak argumen sbg berikut : Argumen mula-mula, keringanan adzab kubur yg dialami ke-2 penghuni kubur tersebut yakni disebabkan doa dan syafa’at Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap mereka, bukan pelepah kurma tersebut. Faktor ini bisa didapati seandainya kita menonton riwayat Jabir bin ‘Abdillah radliallahu ‘anhu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إني مررت بقبرين يعذبان فأحببت بشفاعتي أن يرفه عنهما ما دام الغصنان رطبين “Saya melintasi dua buah kubur yg penghuninya tengah diadzab. Aku menginginkan adzab keduanya akan diringankan dgn syafa’atku sewaktu ke-2 belahan pelepah tersebut masihlah basah.” (H.r. Muslim : 3012). Hadits Jabir diatas menerangkan bahwa yg mempermudah adzab ke-2 penghuni kubur tersebut yaitu doa & syafa’at nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam , bukan pelepah kurma yg basah. Argumen ke-2, anggapan bahwa pelepah kurma atau bunga dapat bertasbih pada Allah sewaktu dalam kondisi basah maka sanggup menopang adzab penghuni kubur tidak searah dgn firman Allah Ta’ala, تُسَبِّحُ لَهُ السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ وَالأرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ وَلَكِنْ لا تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا (٤٤) “Langit yg tujuh, bumi dan seluruhnya yg ada di dalamnya bertasbih terhadap Allah. Dan tiada suatupun melainkan bertasbih dgn Memuji-Nya, tapi anda sekalian tak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Beliau ialah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.” (Q.s. Al Israa : 44). Makhluk hidup selalu bertasbih terhadap Allah, begitupula pelepah kurma. Tak terdapat kebenaran yg menunjukkan bahwa pelepah kurma atau bunga dapat mogok bertasbih kalau dalam kondisi kering. Argumen ke-3, aksi nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut bersifat kasuistik (waqi’ah al-’ain) dan termasuk juga kekhususan dirinya maka tak sanggup dianalogikan atau ditiru. Faktor ini lantaran dirinya tak melaksanakan perihal yg mirip terhadap kubur-kubur lainnya. Demikian juga para kawan tak sempat melakukannya, kecuali kawan Buraidah yg berwasiat supaya pelepah kurma diletakkan di dalam kuburnya dengan dgn jasadnya. Tetapi, tindakan dirinya ini cuma didasari oleh ijtihad dirinya semata. Ibnu Hajar rahimahullah bicara, “Perbuatan Buraidah tersebut seolah-olah menunjukkan bahwa ia mengaplikasikan hadits tersebut berdasarkan keumumannya dan tak mempunyai anggapan bahwa hal itu cuma dikhususkan bagi ke-2 penghuni kubur tersebut. Ibnu Rusyaid bicara, “Apa yg dilakukan oleh Al Bukhari menunjukkan bahwa hal itu cuma kusus bagi ke-2 penghuni kubur tersebut, oleh sebab itu Al Bukhari berkomentar tentang aksi Buraidah tersebut dgn membawakan perkataan Ibnu ‘Umar, Sesungguhnya satu orang(di alam kubur) cuma dapat dinaungi oleh hasil amalnya (didunia & bukan pelepah kurma yg diletakkan di kuburnya).” (Fathul Baari 3/223). diluar itu, pelepah kurma tersebut ditaruh dengan bersama jasad dia, bukan diletakkan diatas pusara dia. Argumen keempat, argumen lain yg membatalkan analogi mereka dan menguatkan bahwa aksi Nabi tersebut adalah kekhususan dia ialah wawasan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ke-2 penghuni kubur tersebut tengah diadzab. Aspek ini yaitu perkara gaib yg cuma didapati oleh Allah ta’ala dan para rasul yg dikasih keistimewaan Oleh-Nya maka bisa mengetahui sekian banyak perkara gaib dgn wahyu yg diturunkan kepadanya. Allah berfirman, عَالِمُ الْغَيْبِ فَلا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا(٢٦)إِلا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا (٢٧) “(Ia yaitu Rabb) yg mengetahui yg ghaib, sehingga Beliau tak memperlihatkan terhadap seorangpun menyangkut yg ghaib itu. Kecuali pada rasul yg Diridhai-Nya.” (Q.s. Al Jinn : 26-27). Kalangan yg menganalogikan adat tebar bunga bersama aksi nabi tersebut sudah mengklaim bahwa mereka mengetahui perkara gaib. Mereka mengklaim mengetahui bahwa penghuni kubur sedang diadzab maka pusaranya butuh buat ditaburi bunga. Sungguh ini klaim tidak dengan kenyataan, tak dilandasi ilmu dan termasuk juga menerka-nerka perkara gaib yg dilarang oleh agama. Argumen kelima, aspek ini mengandung sindiran dan celaan pada penghuni kubur, lantaran jikalau argumen mereka begitu, hal itu yakni salah satu wujud berburuk sangka (su’uzh zhan) terhadap penghuni kubur sebab menganggapnya juga sebagai tersangka maksiat yg tengah diadzab oleh Allah di dalam kuburnya yang merupakan balasan atas perbuatannya di dunia.(Ringkasan faidah ini kami ambil dari Ahkaamul Janaa-iz, Taisirul ‘Allam dan spesifikasinya dari ustadzuna tercinta, Abu Umamah hafizhahullah ta’ala waktu mengkaji kitab ‘Umdatul Ahkam). Berdasarkan keterangan diatas, kita sanggup mengetahui bahwa etika ini semestinya ditinggalkan dan tak butuh dilakukan saat berziarah kubur sebab tercakup dalam larangan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita pula mengetahui bahwa tak terdapat riwayat valid yg menyebut bahwa para sohib dan generasi salaf melaksanakan rutinitas tebar bunga diatas pusara. Perihal ini menunjukkan bahwa aksi tersebut tak dituntunkan oleh syari’at kita. Oleh lantaran itu, kita pantas merenungkan pendapat As Subki, bahwa segala aksi yg tak sempat diperintahkan & dilakukan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya adalah indikasi bahwa amalan tersebut tak disyari’atkan. Dalam pendapat dirinya tersebut terkandung kaidah basic dalam pensyari’atan satu buah amalan. Referensi : ikhwanmuslim dot com
Share this article :
+
Previous
Next Post »
0 Komentar untuk ""TABUR BUNGA DI KUBURAN""